Minggu, 18 Desember 2011

Pengaruh Media Terhadap Individu

Pengaruh Media pada Individu




Media berpengaruh terhadap individu. Untuk mengetahui hal itu telah diadakan beberapa penelitian atau studi komunikasi.
Studi-studi tersebut mendorong lahirnya “Teori Peluru Ajaib” atau yang disebut juga “Teori Jarum Hipordemik” dan “Teori Stimulus-Respons (S-R).
Kesimpulan dari studi-studi komunikasi lainnya dapat dikatakan bahwa ada kalangan yang dapat dipengaruhi secara kuat, namun ada juga yang kurang bisa dipengaruhi. Hal tersebut tergantung dari kapasitas seseorang untuk mengambil keputusan intelegensi atau yang disebut daya kritis.
Erie Country Study menemukan bahwa media massa tidak mengontrol cara berpikir pemilih. Media massa disini lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Tiga bentuk pengaruh media tersebut adalah aktivasi, penguatan dan konversi.
Studi Lazarsfeld dan kawan-kawan memperkenalkan sebuah konsep baru tentang Arus Komunikasi Dua Tahap. Dua tahap komunikasi tersebut adalah komunikasi dari media ke pemuka pendapat dan dari pemuka pendapat ke masyarakat. Studi ini mengatakan bahwa bukanlah pengaruh media, melainkan pengaruh personal pemuka pendapat tersebut.
Klapper menyimpulkan bahwa media massa tidak dengan sendirinya menyebabkan khalayak menjadi lebih apatis, pasif maupun agresif, namun (mungkin sekali) memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang telah ada di kalangan penerima.
Pada periode selanjutnya berkembang dua model yaitu pendekatan “uses gratificaton” dan “agenda setting”. Pendekatan “uses gratification” menunjukkan bergesernya fokus penelitian dari sumber ke komunikan. Sedangkan pada pendekatan” agenda setting” memfokuskan perhatian pada efek media massa terhadap pengetahuan.

Efek Media Massa
Efek media massa adalah suatu efek yang berasal dari perlakuan media massa kepada kita.
Ada 3 pendekatan dalam media massa yakni:
efek media massa, perubahan pada diri khalayak komunikasi massa dan tinjauan suatu observasi yang dikenai efek komunikasi massa.
Efek kehadiran masa secara fisik memberikan 5 efek yakni: efek ekonomis, efek sosial, efek penjadwalan kembali kegiatan sehari-hari, efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu dan efek pada perasaan orang terhadap media.
Pesan media massa memberikan efek kognitif, efektif dan behavioral kepada khalayak penerima. Selain efek-efek negatif media massa juga memberikan efek positif dengan menimbulkan efek prososial. Tiga wilayah efek prososial, antara lain efek terapetik, pengembangan kendali diri, kerja sama membagi dan membantu.

Sistem Komunikasi Massa

Sistem Komunikasi Massa


Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan melalui media massa. Yang termasuk dalam komunikasi massa antara lain adalah: koran, film, radio, televisi dan sebagainya




Beberapa definisi. komunikasi massa disampaikan oleh para ahli yaitu antara lain disampaikan oleh:


1.      DeFleur dan Dennis
Keduanya melihat komunikasi massa sebagai proses.
2.      Joseph R. Dominick
Joseph mendefinisikan komunikasi massa sebagai suatu proses di mana suatu organisasi yang kompleks dengan bantuan satu atau lebih mesin memproduksi dan mengirimkan pesan kepada khalayak yang besar, heterogen, dan tersebar.
3.     Jalaluddin Rakhmat
Mendefinisikan komunikasi massa sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim, melalui media cetak atau elektronis. sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Komunikasi massa mempunyai beberapa perbedaan dengan komunikasi tatap muka. Menurut DeFleur dan Dennis, perbedaan terjadi dalam hal konsekuensi menggunakan media, konsekuensi memiliki khalayak luas dan beragam, pengaruh sosial dan kultur. Sedangkan menurut Elizabeth Noelle-Neuman ada empat tanda pokok dari komunikasi massa bila secara teknis komunikasi massa diperbandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal. Tanda pokok tersebut adalah: bersifat tidak langsung, bersifat searah, bersifat terbuka, mempunyai publik yang tersebar secara geografis.
Di samping adanya perbedaan antara komunikasi massa dengan komunikasi interpersonal, terdapat pula hubungan antara komunikasi massa dengan komunikasi interpersonal. Menurut Elihu Katz dan Paul Lazarfeld komunikasi interpersonal,merupakan variabel intervenig antara media massa dan perubahan perilaku. Sedangkan Everett Rogers mengemukakan bahwa antara saluran media massa dan interpersonal saling melengkapi. Kemudian antara komunikasi massa dengan komunikasi interpersonal dapat dilihat pada efek sosialisasi dari media massa.


Khalayak Komunikasi Massa
Dalam keseharian ketertiban kita terhadap media massa sangat tinggi. Penggunaan waktu kita untuk media massa Iebih besar dibandingkan dengan aktivitas lain. Jefres mengemukakan beberapa alasan mengapa orang menggunakan media massa, yaitu:

1.      situasi konsumsi/penggunaan media
2.     pola penggunaan media massa

Dari masing-masing individu, penggunaan terhadap media massa mempunyai seleranya sendiri-sendiri, ada yang suka membaca surat kabar, menonton TV atau mendengarkan radio. Jefres menggambarkan adanya dua pendekatan yang digunakan untuk melihat mengapa terjadi perbedaan yang sifatnya individual seperti tersebut di atas, yaitu:

1.      pendekatan kategori sosial
2.     pendekatan uses and gratification

Kemudian Katz, Gurevitch dan Hass mengidentifikasi lima kelompok kebutuhan dalam hal penggunaan media, yaitu:

1.      kebutuhan kognitif
2.      kebutuhan afektif
3.      kebutuhan integratif
4.      kebutuhan untuk memperkuat kontak dengan keluarga, teman dan dunia luar
5.     kebutuhan untuk melepaskan ketegangan

Di samping kebutuhan akan penggunaan media, reaksi dari khalayak terhadap media massa juga ada. Menurut Melvin DeFleur dan Sandra Ball rakeach terdapat tiga perpektif tentang reaksi khalayak terhadap media, yaitu:

1.      perspektif perbedaan invidual
2.      perspektif kategori sosial
3.     perspektif hubungan sosial

Sabtu, 10 Desember 2011

Hubungan Interpersonal

Hubungan Interpersonal

Hakikat dari hubungan interpersonal adalah bahwa ketika berkomunikasi, kita bukan hanya menyampaikan isi pesan, tetapi juga menentukan kadar hubungan interpersonal. Jadi, kita bukan sekedar menentukan content tetapi juga relationship. Pandangan ini merupakan hal baru dan untuk menunjukkan hubungan pesan komunikan ini disebut sebagai metakomunikasi.


Dalam hal ini berarti bahwa studi komunikasi interpersonal bergeser dari isi pesan kepada aspek relasional. Aspek relasional inilah yang menjadi unit analisis dari komunikasi interpersonal. Dari segi psikologi komunikasi, kita dapat menyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya sehingga makin efektif komunikasi itu berlangsung.
Hubungan interpersonal terbentuk ketika proses pengolahan pesan, (baik verbal maupun nonverbal) secara timbal balik terjadi dan hal ini dinamakan komunikasi interpersonal. Ketika hubungan interpersonal interpersonal tumbuh, terjadi pula kesepakatan tentang aturan berkomunikasi antara para partisipan yang terlibat.
Hubungan interpersonal dapat diklasifikasikan berdasarkan faktor-faktor:
1) Jumlah individu yang terlibat yaitu hubungan diad dan hubungan triad. Hubungan diad adalah hubungan antara dua individu. William Wimot mengemukakan ciri-ciri hubungan interpersonal diad, antara lain adanya tujuan khusus, adanya fungsi yang berbeda, memiliki pola komunikasi yang khas.
Hubungan triad adalah hubungan interpersonal antara tiga orang. Dibandingkan dengan hubungan diad, hubungan ini lebih kompleks, tingkat keintiman rendah dan keputusan yang diambil berdasarkan voting.
1.      Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, adalah hubungan tugas (task relationship) dan hubungan sosial (social relationship).
2.      Berdasarkan jangka waktu: hubungan jangka pendek dan hubungan jangka panjang.
3.      Berdasarkan tingkat kedalaman/keintiman: hubungan akrab/intim.
Ruben mengemukakan tahap-tahap hubungan interpersonal, yaitu:
1.      inisiasi;
2.      eksplorasi;
3.      intensifikasi;
4.      formalisasi;
5.      redefinisi;
6.      deteriorasi. Dalam kenyataannya, hubungan itu tidak selalu berjalan selaras dan bertahap seperti tersebut di atas, tetapi bisa tidak berurutan.
Mark Knapp menyebut tahap-tahap hubungan interpersonal sebagai berikut:
1.      inisiasi;
2.      eksperimen;
3.      intensifikasi;
4.      integrasi; dan
5.      pertalian atau ikatan. Tahap-tahap ini tidak harus terjadi pada setiap hubungan interpersonal.
Mengenai tahap-tahap tersebut, Jalaluddin Rakhmat menyimpulkan bahwa perkembangan hubungan interpersonal melalui tiga tahap:
1.      pembentukan hubungan;
2.      peneguhan hubungan; dan
3.      pemutusan hubungan.
Apabila dalam hubungan interpersonal terjadi konflik, akibat yang mungkin terjadi adalah berakhirnya hubungan interpersonal atau sebaliknya, meningkatnya kualitas hubungan. R.D. Nye, mengemukakan lima sumber konflik, yaitu:
1.      kompetisi;
2.      dominasi;
3.      kegagalan;
4.      provokasi; dan
5.      perbedaan nilai.
Dalam hubungan interpersonal, akan tumbuh apa yang dinamakan pola-pola relasional sebagai hasil dari aturan yang dikembangkan oleh partisipan bagimana pola-pola relasional ini berkembang akan tergantung pada bagaimana komunikasi dilakukan. Ruben menyebut
kan ada empat pola relasional:         
1.      suportif dan defensif;
2.      tergantung (dependent) dan tidak bergantung (independent);
3.      kegagalan;
4.      provokasi; dan
5.      perbedaan nilai.
Dalam hungan interpersonal, akan tumbuh yang dinamakan pola-pola relasional sebagai hasil dari aturan yang dikembangkan oleh partisipan. Bagaimana pola-pola relasional ini berkembang akan tergantung pada bagimana komunikasi dilakukan. Ruben menyebutkan ada empat pola relasional:
1.      uportif dan defensif;
2.      tergantung (dependent) dan tidak bergantung (independent),
3.      progresi dan regresif;
4.      self-fulfilling dan self defeating prophecies.
Mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola hubungan interpersonal, menurut Ruben adalah:
1.      tingkat hubungan dan konteks;
2.      kebutuhan interpersonal dan gaya komunikasi;
3.      kekuasaan;
4.      konflik.
Sedang Jalaluddin Rakhmat mengemukakan tiga faktor yang dapat menumbuhkan hubungan interpersonal, yaitu
1.      percaya diri;
2.      sikap; dan
3.      sikap terbuka.

Atraksi Interpersonal

Atraksi dalam Komunikasi Interpersonal

Atraksi interpersonal adalah kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang. Adanya daya tarik ini membentuk rasa suka. Rasa suka pada seseorang umumnya membuat orang yang kita sukai menjadi signifikan bagi kita. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik seseorang dengan orang lain adalah

 

(1) faktor-faktor personal, meliputi:
a) kesamaan karakteristik personal; cognitive consistency theory dari    Fritz Heider mengemukakan bahwa orang cenderung memiliki sikap yang sama dengan orang yang disukai;
b) tekanan emosional (stress),
c) harga diri yang rendah,
d) isolasi sosial.
(2) faktor-faktor situasional, dapat berupa:
a) daya tarik fisik,
b) ganjaran (reward),
c) familiarity,
d) kedekatan (clonseness),
e) kemampuan.
Dalam hubungan dengan atraksi interpersonal ini ada 4 (empat) teori “liking” yang menjelaskan:
(1) Reinforcement theory menjelaskan bahwa seseorang menyukai orang lain adalah sebagai hasil belajar.
(2) Equity theory menyatakan bahwa dalam suatu hubungan, manusia selalu cenderung menjaga keseimbangan antara harga (cost) yang dikeluarkan dengan ganjaran (reward) yang diperoleh.
(3) Exchange theory berpendapat bahwa interaksi sosial diibaratkan sebagai transaksi dagang. Jika orang kenal pada seseorang yang mendatangkan keuntungan ekonomis dan psikologis, akan lebih disukai.
(4) Gain-loss theory berpendapat bahwa orang cenderung lebih menyukai orang-orang yang menguntungkan bagi kita dan kurang tertarik pada orang-orang yang merugikan kita.
Dalam komunikasi interpersonal, daya tarik seseorang sangat penting. Kalau kita menyukai seseorang, akan cenderung melihat segala hal yang berkaitan dengannya, positif. Sebaliknya, kalau kita tidak menyukainya, kita akan melihat segalanya secara negatif. Dengan demikian bisa dimengerti orang yang memiliki daya tarik bagi orang lain akan mempermudah pendapat dan sikapnya pada orang tersebut demikian sebaliknya. Jika orang saling menyukai ia akan mengembangkan komunikasi yang menyenangkan dan efektif. Orang akan merasa senang dan nyaman jika berada di antara orang-orang yang disukai. Sebaliknya akan merasa tegang dan resah bila berada di antara orang-orang yang tidak disukai serta ingin mengakhirinya. 

Senin, 05 Desember 2011

Atribusi


Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak (baron dan bryne, 1979). Mengapa manusia melakukan atribusi?? Menurut myers (1996), kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (ada sifat ilmuwan pada manusia), termasuk apa yang ada di balik perilaku orang lain.
Atribusi mengenai orang lain biasanya mengacu pada atibusi tentang perilaku orang lain. Pertanyaan penting yang muncul disini adalah “kapan kita mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan seseorang benar-benar menunjukkan disposisinya, seperti kepribadian, sikap, suasana hati, atau kondisi internal lainnya?” sebaliknya, kapankah kita mengatakan bahwa seseorang melakukan sesuatu karena ada atribusi situasional yang melatarbelakanginya.

     


Kita tahu bahwa orang tidak selalu mengatakan atau melakukan hal yang memang benar-benar mereka yakini. Kadangkala kita sendiri suka mencoba tersenyum dan bersikap riang pada anak yang menyambut kita sepulang kantor di sore hari. Padahal kita tahu benar bahwa pada saat itu kita amat lelah setelah bekerja seharian. Akan tetapi, kita tetap mencoba untuk tersenyum dan menghilangkan rasa lelah itu di depan anak-anak.
Jadi, bagaimana kita bisa tahu saat seseorang memang benar-benar melakukan apayang ada dalm hatinya?
Ada prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal tersebut:

1.    Prinsip yang menyebutkan bahwa pertama-tama kita harus tahu benar bahwa tidak ada factor eksternal dari dirinya yang membuatnya mampu melakukan satu tindakan tertentu. Misalnya, dalam kasus di atas, pastikan benar bahwa tidak ada satu pihak pun yang mengancam orang itu untuk tersenyum dan tetap bersikap riang di sepan anak-anaknya meskipun telah lelah bekerja. Apakah benar bahwa tidak ada orang yang memaksanya untuk melakukan itu? Kalau memang ada, berarti tindakan yang dilakukan itu berdasarkan pada faktor eksternal. Katakanlah, istri atau suaminya memaksanya untuk melakukan itu. Sebaliknya, jika tidak ada satu pun faktor eksternal yang kita temukan, baru kita mencari atribusi internal di dirinya. Dari situ kita bias menyimpulkan, berarti orang itu memang benar-benar menyayangi anak-anaknya atau orang itu memiliki prinsip bahwa keluarga adalah segalanya.

2.    Faktor lain yan juga penting dalam melihat perilaku seseorang adalah dari harapan atau dugaan yang kita miliki tentang perilaku seseorang berdasarkan informasi yang telah kita miliki tentang orang itu. Informasi tertentu itu bias membuat kita lebih mengenalnya daripada ketika melihatnya melakukan suatu hal. Kita bisa saja mendengar seseorang membicarakan masalah tertentu sebelumnya, atau kita mungkin pernah mendengarnya membicarakan masalah lain yang berhubungan dengan itu. Berbagai informasi tambahan tentang seseorang bisa membantu kita membentuk atribusi tertentu terhadap orang itu. Misalnya saja, selama ini anda tahu benar bahwa teman anda adalah seorang pendukung gerakan persamaan hak perempuan di masyarakat. Suatu saat anda bertemu dengan orang tuanya dan makan bersama dengan mereka. Ketika itu, anda melihat teman anda mengangguk-anggukkan kepalanya saat orang tuanya mengeluarkan pernyataan yang cenderung konservatif terhadap hal yang diyakininya.

Sebelumnya, anda sudah memiliki atribusi tertentu tantang teman anda sehubungan dengan nilai yang ia yakini. Dari informasi itu, anda akan memiliki persepsi atau harapan tertentu tentang dirinya (bahwa dia adalah orang yang liberal). Ketika kemudian ada faktor eksternal, yaitu orang tuanya, anda memperoleh informasi baru tentangnya (bahwa dia adalah orang yang mau berkompromi dan tidak mau beradu argument dengan orang tuanya).
Pada dasarnya, kulik (1983) menyebutkan bahwa seseorang memiliki atribusi tentang orang lain sesuai dengan skema yang ada dalam pikirannya. Jika seseorang berperilaku sesuai dan konsisten dengan skema itu, kita akan percaya bahwa hal itu terjadi karena sesuatu dalam dirinya (dispositionally caused). Akan tetapi, saat dia sikapnya berbeda, kita akan percaya bahwa itu terjadi karena situasi yang mendukungnya (situationally caused).